Pemerintah telah menghentikan impor sementara produk 13
produk hortikultura mulai Januari-Juni 2013. Namun negara lain protes terhadap
kebijakan ini, seperti Amerika Serikat (AS) yang melaporkan kebijakan tersebut
ke organisasi perdagangan dunia atau WTO.
Menteri Pertanian, Suswono menyatakan negara-negara maju
sangat tidak fair (adil) dalam soal impor. Menurutnya, Indonesia hanya
dimanfaatkan sebagai pasar dari produknya. Sehingga sudah sepatutnya kebijakan
pengaturan waktu impor 13 produk hortikultura harus ditempuh Indonesia.
“Negara-negara maju itu nggak fair,” tegas Suswono.
Ia mencontohkan, saat ini Indonesia yang susah payah
memasukan buah manggis ke Australia. Menurutnya, cukup tidak logis jika harus
menempuh waktu 6 tahun hanya untuk memasukan produk manggis ke Australia.
“Untuk manggis masuk ke Australia itu saja 6 tahun kita bisa masuk ke sana,”
jelasnya.
Selain itu, produk minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil
(CPO) yang disebut-sebut mengganggu kesehatan oleh pemerintah Prancis. “Jadi
karena alasan-alasan yang nggak masuk diakal dicoba untuk ditujukan ke
Indonesia. Kita coba minta secara resmi hasil penelitiannya mereka nggak mau,”
tegas Suswono.
Untuk itu, lanjutnya sebagai langkah ke depan pemerintah
harus dapat menyiasati WTO. Di satu sisi kita menjaga hubungan dengan negara-negara
lainnya, dan di sisi lainnya, negara tidak boleh dirugikan. “Harus pandai
menyiasati di WTO. Kalau nggak kita bisa di komplain,” katanya.
Beberapa komoditas Indonesia yang dihadang masuk AS antara
lain, pulp & paper, CPO, rokok kretek, tekstil dan yang terbaru adalah
udang hasil budidaya. Setiap tahun, AS memang mengalami defisit dalam
perdagangan dengan Indonesia. Namun jumlahnya tidak besar. Sementara AS
mengeruk kekayan Indonesia dalam jumlah besar.
Berbagai regulasi non-tarief barrier diterapkan AS seperti
dumping sampai larangan masuk komoditas yang disubsidi mencerminkan kepanikan
AS atas kondisi ekonominya yang kacau balau.
Bayangkan kecurangan AS! Sambil berkampanye lewat WTO yang
melarang negara-negara berkembang memberikan subsidi kepada sektor pertanian
bagi, AS terus mengucurkan dana subsidi ke sektor pertaniannya. Otomatis, daya
saing komoditas pertanian AS pun sangat kuat. Bisa melibas komoditas pertanian
negara lain.
Salah satu alasan yang paling sering digunakan AS melarang
impor dari Asia, terutama Indonesia adalah isu lingkungan. Regulasi mengenai
produk ramah lingkungan sering menyebabkan produk ekspor Indonesia dilarang
masuk.
Di kesempatan lain Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin), Gandi Sulistiyanto mengatakan, “Yang paling sulit bagi
ekspor Indonesia adalah non-tariff barriers, misalnya isu lingkungan,
produk-produk Indonesia sering terkena.”
Gandi mencontohkan, produk kertas Indonesia pernah dilarang
di Amerika Serikat dan Korea Selatan beberapa waktu lalu karena dituduh
menggunakan bahan baku dari kayu hasil pembalakan liar. Padahal Indonesia telah
memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK) untuk menyeleksi kayu bahan
baku industri. Selain itu, CPO Indonesia juga ditolak masuk dalam daftar 53
produk ramah lingkungan APEC.
Gandi menilai isu lingkungan telah digunakan oleh
negara-negara kompetitor Indonesia untuk menjatuhkan Indonesia. “Ini ada unsur
trade competition, bukan sekedar isu lingkungan,” tambahnya.
Sayangnya, sambung Gandhi, Pemerintah belum berperan
memberikan fakta-fakta konkrit bahwa produk kita memenuhi standar
internasional. Oleh sebab itu, Gandi meminta pemerintah ikut aktif
mensosialisasikan fakta-fakta bahwa produk Indonesia sudah ramah lingkungan dan
memenuhi standar internasional. “Para duta besar juga harus ikut
mensosialisasikan di berbagai negara,” jelas Gandi.
Saat ini, sedikitnya ada tiga komoditas ekspor Indonesia
yang dihambat masuk ke AS. Otoritas perdagangan di Negeri Paman Sam menuding
Pemerintah Indonesia telah melakukan perdagangan curang dengan mengguyur
subsidi kepada petambak udang, produsen ternak, dan petani hortikultura
sehingga harga produk ekspor tersebut lebih rendah ketimbang produk serupa di
AS.
Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI, Erik Satrya Wardhana menilai,
larangan AS hanya mengada-ada. Alasannya, dalam aturan WTO telah dijelaskan
bahwa pemberian subsidi kepada negara berkembang merupakan hal yang sah-sah
saja. Subsidi pemerintah RI ke sektor perikanan sangatlah kecil, hanya mencapai
14% saja. Sebaliknya, subsidi pemerintah AS ke sektor perikanan di negara itu
sangat besar, yakni pada kisaran 21%.
Menurut Erik, AS kalap karena sulit melepaskan diri dari
krisis ekonomi. Akibatnya, mereka mencoba mengatur perekonomian dunia dengan
melakukan tudingan-tudingan seperti itu. “Karena itu pemerintah kita harus
tegas untuk melawan tuduhan itu demi kedaulatan ekonomi kita,” tandas Erik.
Pemerintah Indonesia, tegas Dia, harus memperjuangkan
subsidi yang besar kepada produk Indonesia agar dapat bersaing di pasaran
dunia. “Apakah mereka tidak malu menuding negara kita sedangkan subsidi mereka
sendiri lebih besar dibandingkan dengan pemerintah Indonesia? Seharusnya
pemerintah kita bisa menuntut balik mereka yang mempunyai subsidi lebih besar
dibandingkan kita,” beber Dia.
Bagi Erik, pemerintah Indonesia harus bersikap tegas
terhadap perdagangan curang yang dilakukan AS terkait komoditas ekspor yang
banyak diperlakukan tidak adil oleh AS. Bila perlu, pemerintah Indonesia bisa
melakukan boikot kepada komoditas asal AS. Alasannya, banyaknya komoditas
ekspor yang dijegal oleh Amerika Serikat bakal mengakibatkan ekspor Indonesia
tidak berkembang.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo juga
sudah membantah tuduhan AS terkait kucuran subsidi ke eksportir udang. Menurut
dia, eksportir udang beku Indonesia menjual produk tersebut sesuai harga
pasaran. “Saya katakan sekali lagi, tidak ada subsidi. Kita selama ini menjual
dengan harga normal. Kita tak pernah menjual lebih rendah dari harga pasaran,”
kata Cicip.
Bantahan Cicip tersebut sangat beralasan. Pasalnya, harga
jual udang ke AS untuk jenis Faname berkisar pada angka US$ 5 ribu per ton,
sesuai dengan harga pasaran di negeri Barack Obama. Jadi, Indonesia memang
tidak pernah melakukan dumping harga untuk udang seperti yang dituduhkan AS.
Malah, dia mengaku aneh dengan tuduhan yang tak beralasan itu. “Program bantuan
pemerintah kepada nelayan dan petambak untuk pemberdayaan, bukan subsidi,”
tambahnya. (dakwatuna/nrc)
No comments:
Post a Comment